google-site-verification=n6ca5iMP63sLFOsWnBlwpiLVpvVcCEHaHMKGzdC8ZcY INFO UNIK | PENGETAHUAN UNIK | PARIWISATA Suku Bali : Eksistensi di Tengah Modernisasi Jaman

Suku Bali : Eksistensi di Tengah Modernisasi Jaman

Suku Bali - Adalah salah satu suku bangsa di Indonesia yang menjadi penduduk mayoritas di Pulau Bali, mereka menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa sehari-hari dan mengikuti adat istiadat serta kebudayaan Bali. Menurut hasil Sensus Penduduk 2010, ada kurang lebih 3,9 juta orang Bali di Indonesia. Sekitar 3,3 juta orang Bali tinggal di Provinsi Bali dan sisanya terdapat di Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Lampung, Bengkulu dan daerah penempatan transmigrasi asal Bali lainnya.


Asal usul

Menurut gelombang penyebaranya, asal usul suku Bali terbagi ke dalam tiga periode transmigrasi. Gelombang pertama terjadi sebagai akibat dari persebaran penduduk yang terjadi di Nusantara selama zaman prasejarah. Gelombang kedua terjadi secara perlahan selama masa perkembangan agama Hindu di Nusantara. Gelombang ketiga merupakan gelombang terakhir yang berasal dari Jawa, ketika Majapahit runtuh pada abad ke-15, seiring dengan Islamisasi yang terjadi di Jawa, sejumlah rakyat Majapahit memilih untuk melestarikan kebudayaannya di Bali, sehingga membentuk sinkretisme (proses perpaduan dari beberapa paham-paham atau aliran-aliran agama atau kepercayaan) antara kebudayaan Jawa klasik dengan tradisi asli Bali.


Kebudayaan

Bukan hanya di Indonesia, tetapi kebudayaan Bali juga terkenal sampai manca negara. Kebudayaan itu diantaranya adalah seni tari, seni musik, seni pertujukan, dan seni ukirnya. José Miguel Covarrubias, seorang sejarawan seni berdarah Meksikomengamati dan mengatakan bahwa setiap orang Bali layak disebut sebagai seniman. Bukan tanpa alasan, sebab ada berbagai aktivitas seni yang dapat mereka lakukan terepas dari kesibukan mereka sebagai petani, pedagang, kuli, sopir, dan sebagainya. Masyarakat Bali terbiasa dengan kegiatan yang berhubungan dengan kesenian mulai dari menari, bermain musik, melukis, memahat, menyanyi, hingga bermain lakon. Dalam suatu desa di Bali, akan mudah dijumpai sebuah pura yang indah, pemain gamelan andal, dan bahkan aktor yang berbakat. Bahkan sesajen yang dibuat wanita Bali memiliki sisi artistik, semua itu terlihat pada jalinan potongan daun kelapa, rangkaian bunga dan susunan buah-buahan yang rapi dan menjulang. Menurut Jose M. Covarrubias, setiapm orang Bali adalah perajin yang tulus, yang melakukan aktivitas seni sebagai wujud persembahan, dan tidak peduli apakah namanya akan dikenang atau tidak. 


Gamelan Bali merupakan bentuk seni musik yang penting dan bersifat wajib dalam berbagai acara tradisional masyarakat di Bali. Setiap acaranya memiliki karakter atau jenis musik gamelan yang berbeda satu sama lain. Misalnya, musik gamelan untuk acara piodalan (hari jadi) jelas berbeda dengan musik pengiring acara metatah (mengasah gigi), demikian pula pernikahan, ngabenmelasti, dan sebagainya. Tidak hanya untuk keperluan upacara adat, gamelan yang beraneka ragam pun disesuaikan dengan berbagai jenis tari yang ada di Bali. Menurut Walter Spies, seorang tokoh di belakang modernisasi seni di Jawa dan Bali berkebangsaan Jermanseni tari membuat utuh kehidupan masyarakat Bali sekaligus menjadi elemen penting dalam serangkaian upacara adat maupun pribadi yang tidak ada habisnya.


Sama halnya dengan masyarakat di Pulau Jawa, suku Bali juga mengenal pertunjukan wayang kulit. Tetapi dengan bentuk wayang yang lebih menyerupai manusia, ini sedikit berbeda dengan wayang khas Jawa. Tidak hanya dalam kebudayaan, Suku Bali juga memiliki aspek-aspek unik yang terkait dengan tradisi religius mereka. Kehidupan religius mereka merupakan sinkretisme, proses perpaduan dari beberapa paham atau aliran agama, antara agama Hindu-Buddha dengan tradisi Bali itu sendiri.

Kepercayaan

Sebanyak 3,2 juta umat Hindu Indonesia tinggal di Bali, dan sebagian besar menganut kepercayaan Hindu aliran Siwa-Buddha, sehingga sedikit berbeda dengan agama Hindu yang ada di India.


Ajaran Hindu-Buddha dibawah oleh para pendeta dari India yang berkelana di Nusantara berabad-abad yang lalu. Masyarakat nusantara pada saat itu menerimanya dan mengkombinasikannya dengan mitologi pra-Hindu yang diyakini mereka selama ini.


Suku Bali yang telah ada sebelum gelombang migrasi periode ketiga, lebih dikenal sebagai Bali Aga. Sebagian besar dari mereka menganut agama yang berbeda dari suku Bali pada umumnya. Sampai saay ini mereka masih mempertahankan tradisi animisme.


Eksistensi dari kepercayaan suku Bali tak lepas dari campur tangan serta dukungan pemerintah Belanda pada masa kolonialisme di Indonesia, beberapa naturalist, elit Bali dan masyarakat negeri Belanda. Pada tahun 1881, pemerintah kolonial melarang misionaris beroperasi di Bali. Pada tahun 1924, misi Katolik Roma ke Bali ditolak elite Bali dan pegawai kolonial mendukung hal itu. Selain itu, misionaris Protestan dari Belanda yang mau masuk ke Bali pada 1931 juga mendapat tentangan dan perlawanan. Hal inilah yang menjadikan Bali sampai saat ini masih memiliki kultur dan budaya khasnya.

Tata Cara Pemberian Nama



Suku Bali memiliki cara tersendiri dalam memberikan nama pada anak-anak mereka. Dengan penamaan yang khas ini, masyarakat Bali dapat dengan mudah untuk mengetahui kasta dan urutan lahir dari seseorang. Sampai saat ini belum diketahui dengan jelas, kapan tradisi pemberian nama depan ini mulai ada di Bali. Namun menurut pakar linguistik dari Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. Nama depan itu pertama kali ditemukan muncul pada abad ke-14, yakni saat raja Gelgel, yang saat itu bergelar "Dalem Ketut Kresna Kepakisan", yang merupakan putra keempat dari "Sri Kresna Kepakisan" yang dinobatkan oleh Mahapatih Majapahit, Gajah Mada, sebagai perpanjangan tangan Majapahit di Bali. "Dalem Ketut Kresna Kepakisan" kemudian dilanjutkan oleh putranya, yakni "Dalem Ketut Ngulesir". Namun, Prof. Jendra belum dapat memastikan apakah tradisi pemberian nama depan itu sebagai pengaruh Majapahit atau bukan. Tetapi, hal ini telah menjadi tradisi di Bali dan hingga akhir abad ke-20, masyarakat Bali pun masih menggunakannya.

Sistem Strata Sosial

Sistem kehidupan masyarakat Bali disebut Wangsa berbeda dengan catur warna di veda, wangsa yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Meski saat ini tidak lagi diberlakukan secara kaku sebagaimana pada masa lampau, tetapi dalam beberapa hal masih dipertahankan. Misalnya dalam tradisi upacara adat dan perkawinan masih dikenal pembedaan berdasarkan galur keturunan leluhur yang mengarah pada wangsa di masa lalu.


Sistem wangsa ini bermula pada abad XIV saat Kerajaan Bali ditundukkan oleh Majapahit. Pada mulanya wangsa ini dibuat dan dimaksudkan untuk membedakan antara kaum penguasa asal Majapahit dari Jawa yang diberi kuasa memerintah di Bali dengan masyarakat lokal taklukan. Mereka dan keluarganya yang berasal dari Majapahit meski berjumlah minoritas, tetapi memegang penuh semua urusan kehidupan bernegara. Mereka membentuk sendiri strata sosial kelas atas yang berpuncak pada Dinasti Kepakisan, yang berasal dari Majapahit.
Mereka menguasai seluruh pulau Bali dengan membagi kekuasaan di antara mereka, para panglima dan keturunannya. Para raja, bangsawan, pendeta, pembesar Keraton, punggawa militer, abdi Keraton, beserta keluarga mereka yang berasal dari Jawa (Majapahit) menciptakan 3 kelas teratas untuk kalangan mereka.
  • Untuk kalangan Pendeta dan pemuka agama diberikan kedudukan sebagai Brahmana.
  • Untuk Raja, kaum bangsawan, petinggi kerajaan, dan bala tentaranya diberikan warna Kesatria.
  • Untuk para abdi keraton, ahli-ahli pembuat senjata, para cendikiawan, dsb yang berasal dari Jawa diberikan warna Waisya.
  • Sedangkan untuk masyarakat Bali taklukan yang jumlahnya mayoritas tidak diberikan kedudukan. Mereka semuanya dimasukkan dalam kelas paling bawah di Bali dikenal dengan istilah "Jaba". Hal inipun diberlakukan kepada keturunan keluarga penguasa Bali kuno pra Majapahit dari Dinasti Warmadewa yang melebur dalam masyarakat Jaba setelah kehilangan kekuasaan mereka.
Sistem wangsa ini pada awalnya juga dibuat sebagai alur pembagian profesi yang berhak diturunkan kepada generasi penerusnya dan tidak boleh diambil oleh wangsa lainnya. Selain itu juga berlaku dalam upacara keagamaan sesuai kedudukan wangsa mereka, terkait besar upacara dan jumlah sesajen yang diwajibkan kepada mereka. Dalam praktiknya diberlakukan pula pada perkawinan, dimana wanita yang berasal dari tri wangsa menikahi pria dari jaba akan kehilangan hak wangsanya serta keturunannya. Begitu juga sebaliknya kepada istri mereka ini diberikan hak naik Wangsa dengan upacara adat pada Wangsa suaminya. Wanita yang telah naik Wangsa karena perkawinan ini kemudian disebut Jero. Seluruh keturunan sah mereka berhak menyandang wangsa yang sama dengan ayahnya sesuai aturan Paternalistik.
Sistem wangsa ini masih kuat dipertahankan dalam Sistem penamaan masyarakat Bali. Mereka memberikan awalan nama yang menunjukkan wangsa keluarga mereka.






Posting Komentar

0 Komentar