Di Tanah Minang, udara dipenuhi bau rempah kering: kayu manis, pala, kapulaga, cengkih. Hasil bumi yang diperebutkan oleh para penjelajah Barat selama berabad-abad. Saya sedang berjalan menyusuri pesisir kota, di mana warung dan restoran menghamburkan aroma yang membuat siapa saja menelan ludah.
Tanah Minang melahirkan demokrasi, bahkan di tanah ini sudah lama menerapkan semangatnya di atas meja makan. Tiap kali masuk ke restoran padang kita akan “diserang” oleh aneka masakan: gulai kerapu dengan kuah yang kental, udang, ayam, belut, kalio, jengkol, cumi-cumi, tuna, lokan, dendeng balado, gulai kambing, aneka lado ijau dan juga tentunya rendang—menu yang pernah memuncaki daftar 50 makanan terlezat di dunia.
Kata ibu saya, filosofi dan ketelitian itulah yang membuat cita rasa masakan minang makin tajam; caci dan cela yang membuat masakan teruji kualitasnya. Lidah orang minang tajam, setajam pengetahuan untuk membedakan mana rasa manis dari tebu, manis aren, manis tomat atau manis perasa buatan. Saya akan bercerita tentang cita rasa di dataran tinggi Minangkabau, lembah berkabut tipis yang dingin, tempat dimana kenangan masa kecil saya titipkan.
Di Nagari Sungai Pua saya dilahirkan. Di daerah ini, lidah saya setiap hari dimanjakan oleh masakan Ibu yang kaya bumbu, sementara telinga saya dipupuk oleh falsafah hidup. Tanah ini menjunjung falsafah hidup yang luhur—“adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah, sarak mangato adat mamakai” (adat berlandaskan agama, agama berpijak pada kitab Tuhan, apa yang diperintahkan agama tidak akan berseberangan dengan adat).
![]() |
Lembah Anai |
1 Komentar
ITS mine
BalasHapus