google-site-verification=n6ca5iMP63sLFOsWnBlwpiLVpvVcCEHaHMKGzdC8ZcY INFO UNIK | PENGETAHUAN UNIK | PARIWISATA Kutitipkan Sebagian Ceritaku di Ranah Minang

Kutitipkan Sebagian Ceritaku di Ranah Minang

Di Tanah Minang, udara dipenuhi bau rempah kering: kayu manis, pala, kapulaga, cengkih. Hasil bumi yang diperebutkan oleh para penjelajah Barat selama berabad-abad. Saya sedang berjalan menyusuri pesisir kota, di mana warung dan restoran menghamburkan aroma yang membuat siapa saja menelan ludah.



Tanah Minang melahirkan demokrasi, bahkan di tanah ini sudah lama menerapkan semangatnya di atas meja makan. Tiap kali masuk ke restoran padang kita akan “diserang” oleh aneka masakan: gulai kerapu dengan kuah yang kental, udang, ayam, belut, kalio, jengkol, cumi-cumi, tuna, lokan, dendeng balado, gulai kambing, aneka lado ijau dan juga tentunya rendang—menu yang pernah memuncaki daftar 50 makanan terlezat di dunia.

Kata ibu saya, filosofi dan ketelitian itulah yang membuat cita rasa masakan minang makin tajam; caci dan cela yang membuat masakan teruji kualitasnya. Lidah orang minang tajam, setajam pengetahuan untuk membedakan mana rasa manis dari tebu, manis aren, manis tomat atau manis perasa buatan. Saya akan bercerita tentang cita rasa di dataran tinggi Minangkabau, lembah berkabut tipis yang dingin, tempat dimana kenangan masa kecil saya titipkan.

Di Nagari Sungai Pua saya dilahirkan. Di daerah ini, lidah saya setiap hari dimanjakan oleh masakan Ibu yang kaya bumbu, sementara telinga saya dipupuk oleh falsafah hidup. Tanah ini menjunjung falsafah hidup yang luhur—“adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah, sarak mangato adat mamakai” (adat berlandaskan agama, agama berpijak pada kitab Tuhan, apa yang diperintahkan agama tidak akan berseberangan dengan adat).


Lembah Anai

Jalan berliku, menanjak dan menurun, dengan hutan lebat dan jurang-jurang curam di kedua sisinya. Di sejumlah ruas, saya menatap sungai berair bening yang deras mengalir. Beberapa anak sungai ini berhulu di mata-mata air pegunungan; beberapa yang lain memancar dari Air Terjun Lembah Anai. Usai melewati jalan-jalan berliku, saya tiba di kaki Gunung Singgalang dan Gunung Marapi, dua gunung yang bertetangga. Sejauh mata memandang, petak-petak sawah terbentang hingga ke pinggang-pinggang gunung.

Di masa lalu, nagari-nagari di sini begitu makmur mengandalkan lada, cengkih, kayu manis, dan akasia yang laris di pasar dunia. Sejak rempah kehilangan pamornya, warga berpaling ke sayur: cabai, seledri, bawang, wortel, kembang kol. Nyaris setiap hari hasil keringat mereka diangkut oleh truk-truk menuju Jambi, Pekanbaru, Batam, bahkan Singapura.



Pagi baru dimulai, Saya berjalan di lembah-lembah curam di Bukit Barisan. Sungai mengalir membelah padang rumput dan belukar. Ingatan saya kembali ke masa kecil, ketika ibu Saya, Mande Ida, baru kembali dari Pasar Balai Panjang Sungai Pua, tiba di rumah yang terpenjara tebing-tebing terjal Bukit Barisan. Tangannya masih menenteng berbagai kebutuhan dapur.

Mande Ida, begitu orang kampung memanggilnya, melangkah ke kandang di belakang rumah, lalu menuntun kerbau menuju tepian sawah dan melepaskannya begitu saja. Lalu memerah susu kerbau ke dalam garuang, sebuah tabung terbuat dari bambu.



Setelah penuh, kemudian Mande Ida menyaring susu kerbau dan menuangkannya ke bilah bambu yang lebih kecil. Hanya bambu yang bisa membuat susu ini cepat kering. Bila memakai tabung plastik, aromanya tidak sedap dan air menumpuk di atas susu. Setelah dua malam, susu itu mengental. Orang Minang menyebutnya dadiah, yogurt purba yang telah dikonsumsi sejak dulu. Dadiah tentu kalah tersohor dibandingkan rendang. Bahkan ada yang bilang Orang Minang telah meminum susu kerbau sebelum bayi kerbau meminumnya.

Di Ranah Minang, kerbau disembelih dalam penobatan penghulu. Klub sepak bola memakai kepala kerbau sebagai logonya, begitu pula perusahaan semen tertua di Sumatera. Tapi kerbau bukanlah hewan sakral. Kerbau justru hewan pertama yang dieksploitasi habis-habisan untuk hidangan. Susu, daging, tulang, hingga kulit kerbau pun terhidang di meja makan.

Setelah hidup di tanah rantau banyak masakan Mande Ida yang kurindukan, bukan hanya rendang dan ayam balado saja, tetapi juga Pangek Ikan. Rasa pedas dan gurih santannya berpadu dengan beragam bumbu. Sama halnya Orang Minang lainnya, Mande Ida juga memiliki resepnya sendiri dalam memasak. Itulah sebabnya banyak warung makanan padang yang memiliki cita rasa yang berbeda-beda. Bahkan di Ngarai Sianok dan Koto Gadang, hampir setiap warung memiliki racikan masakan yang berbeda dan masing-masingnya memiliki racikan rahasia yang diturunkan dari keluarga.

Kata sebuah anekdot: Bila di bulan ada kehidupan, maka orang Minangkabau akan merantau ke sana guna membuka restoran. Hahaha terdengar lucu memang, tetapi fenomena itulah yang terjadi. Orang Minang memang tidak bisa dipisahkan dengan seni memasak yang sudah turun temurun dan diakui dunia. Bahkan ada sebuah idiom Minang yang sedikit ganjil: bekerja boleh santai, namun makan harus berkeringat. Di dataran tinggi ini, orang-orang melahap masakan purba yang dimasak dengan cara purba. Bahkan beberapa restoran menolak kehadiran mesin di dapur, mengharamkan kompor gas. Mereka masih menggunakan kayu bakar, juga cobek batu untuk menggiling rempah. Itulah seni memasak sesungguhnya.

Tentang selera, orang Minangkabau amat percaya diri. “Inilah masyarakat kebudayaan lambung!” kata Buya Hamka suatu kali.


DOWNLOAD GAME SLOT ONLINE



Bung Hatta mungkin benar. Bukittinggi tidak lahir dari rahim kebudayaan Minangkabau. Ini kota kolonial yang diciptakan oleh tangan-tangan pucat tuan Belanda. Fort de Kock, demikian nama kota ini pada mulanya, adalah sebuah benteng di puncak bukit yang dibangun pada 1826 untuk menggempur kaum Padri. Namanya dipinjam dari Baron Hendrik Merkus de Kock. Seiring menguatnya kekuasaan pemerintah kolonial, benteng ini merekah jadi kota administratif.

Benteng warisan Belanda masih berdiri dengan moncong meriam yang pongah. Di bawahnya, sebuah tugu menampilkan lelaki berserban yang menghunus senjata di atas kuda. Tuanku Imam Bonjol seakan mengingatkan sepenggal hikayat masa lampau yang mungkin sudah dilupakan banyak orang. Meriam itu dulu menggempur para Padri, sementara Tugu Imam Bonjol didirikan di bawahnya. 

Di masa Revolusi Nasional, ketika Jakarta tumbang dan Yogyakarta goyang, Bukittinggi mengambil alih tongkat estafet pusat politik negara. Radio-radio mengumumkan ke dunia bahwa Indonesia masih berdaulat dengan Bukittinggi sebagai ibu kotanya. Namun, tak lama setelah itu, pembangkangan domestik pecah di Sumatera Tengah, dan Bukittinggi kembali terkenal (atau mungkin tercemar).

Soekarno menstempel aksi itu sebagai pemberontakan, sementara orang-orang di Sumatera Tengah menyebutnya revolusi. Beberapa lama setelah itu, Sumatera Tengah bersinonim dengan anarki, bahkan makar—stereotip yang seolah menyelinap ke alam berpikir warga. Dalam khazanah lokal, Sumatera Tengah adalah istilah yang mewakili lambung. “Mengisi Sumatera Tengah” berarti “mengisi lambung.” Jika lambung tak terpuaskan, pemberontakan gampang disulut. Tapi jika lambung kenyang, kondisi akan aman. “Lebih baik berkelahi dengan manusia dari pada berkelahi dengan perut,” kata orang Minang.

Berbeda dari Perang Padri yang bergulir tiga dekade dan menghanguskan hampir seluruh pedalaman Minangkabau, gerakan PRRI yang berlangsung pada pertengahan abad ke-20 itu tidak bertahan lama. Api perlawanan cepat dipadamkan. Sebuah lelucon mengklaim, kekalahan itu diakibatkan “lambung” yang rewel. Saat bergerilya, kata lelucon warung kopi itu, orang-orang Minangkabau tidak mampu menahan lapar, tapi juga tidak mau menurunkan standar rasa makanan. Makan ala kadarnya tidak ada di kamus mereka.

Tengah hari, Jam Gadang berdentang. Tiba saatnya bagi saya mengisi lambung. Bukan perkara yang sulit tentunya di Bukittinggi. Ke mana pun kaki melangkah, saya bertemu rumah makan, dan semuanya bertarung menjual cita rasa, karena memang itu yang penting di sini.



Senja datang. Menara-menara masjid saling bergaung, dingin mulai merayap, dan saya singgah di kedai kopi. Kedai ini, meracik biji-biji Arabika yang tumbuh di sekitar Danau Ateh. Saya menikmati secangkir kopi yang nikmat di Bukittinggi yang sejuk.

Malam merambat dan kabut membalut jalan, tapi dari seberang jalan, aroma masakan masih memanggil. Dan anehnya, lambung saya masih ingin diisi. Sekali lagi Saya jadi ingat ucapan Buya Hamka, urusan perut memang nomor satu di tanah ini.

Besok saya harus kembali ke tanah rantau, dan sekali lagi akan banyak hal yang saya rindukan dari kota tempat saya menghabiskan masa kecil, Nagari Sungai Pua.


Posting Komentar

1 Komentar