Memandangi langit adalah caraku menikmati kesendirian. Ia begitu sunyi, luas, dan begitu tenang dalam menyimpan ceritanya sendiri.
Ya, dari langit itu aku belajar menghargai rasa sunyi dan sepi. Tidak selalu aku akan bersama orang yang kupilih. Tidak selalu orang yang kupilih juga memilihku. Terkadang Tuhan membuat apa-apa yang begitu kita sayang pergi, bukan karena Tuhan tidak peduli. Bukan. Tuhan bahkan lebih peduli melebihi diri kita sendiri.
Pun dengan saat ini, Tuhan menghadiahkan kesendirian untukku, memberikan sebuah rasa sunyi agar aku menjenguk diriku sendiri. Tuhan membiarkan aku melihat bayanganku sendiri, kesedihanku sendiri, dan menikmati kesakitan seorang diri.
Langit juga membuatku memahami makna dari kata “rela”. Bahwa apa yang ada bersama denganku, tak mesti selamanya. Semua ada masanya. Tanpa kuduga, tanpa aku pinta, masa itu akan tiba dan tidaklah sedikitpun aku akan dapat menolaknya. Siap ataupun tidak, aku tidak bisa mengaturnya seperti yang menjadi harapanku.
Yang aku tahu adalah mentari bahkan selalu kembali esok hari, setelah kemarin menenggelamkan diri. Seperti selalu bersedia memaafkan meski berulang kali terlukai.
Ya . . . begitulah cara langit dalam mengajariku untuk terus memiliki harapan.
Dalam sendiri aku berbisik pada semesta : Jika kelak kamu adalah takdirku, kamu pasti akan dikembalikan padaku dengan cara yang begitu istimewa. Jika tidak, disinilah aku belajar melepaskanmu, menenggelamkan segala angan dan harapanku atas kamu di batas cakrawala.
0 Komentar