Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaanya pada masa pemerintahan Maharaja Sri Rajasanagara atau yang dikenal Prabu Hayam Wuruk, namun sekaligus merupakan ambang keruntuhannya. Pertanda mengenai akan runtuhnya kerajaan yang didirikan oleh Raden Wijaya itu sesudah timbul Perang Bubat. Perang yang terjadi antara pasukan Sunda yang dipimpin oleh Prabu Maharaja Linggabuanawisesa dan pasukan Majapahit dibawah komando Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada.
Menurut beberapa sumber seperti Serat Pararaton, Kidung Sunda, dan Kidung Sundayana dari Bali. Diketahui bahwa Perang Bubat yang terjadi pada Tahun Saka 1257 (1357 M), terjadi akibat perselisihan antara Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada dari Majapahit dengan Prabu Maharaja Linggabuanawisesa dari Kerajaan Sunda di Lapangan Bubat.
Pada masa itu, ambisi Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada untuk menaklukkan wilayah-wilayah di seluruh Nusantara yang bermula dari Tumasik (Singapura), Tanjungpura, Bali, Dompo, hingga Seram mencapai hasilnya. Sehingga Majapahit memiliki kekuasaan yang besar.
Namun, terdapat dua kerajaan yang belum tunduk terhadap kekuasaan Majapahit, yakni Kerajaan Sunda dan Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sunda pada waktu itu dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Maharaja Linggabuanawisesa atau Prabu Wangi.
Pandangan Mahapatih Gajah Mada yang ingin segera menyatukan Kerajaan Sunda ke dalam wilayah kekuasaan Majapahit bertentangan dengan pandangan dari pihak istana Majapahit itu sendiri. Baik ibu suri Dyah Gitarja Tribhuwana Wijaya Tunggadewi maupun Dyah Wiyat berpendapat bahwa Kerajaan Sunda adalah kerabat sendiri.
Sementara sikap Prabu Hayam Wuruk sendiri terlihat lebih condong pada pandangan ibunya Tribhuwana Tunggadewi dan bibi sekaligus ibu mertuanya Dyah Wiyat ketimbang pandangan Gajah Mada.
Kisah Perang Bubat
Dikisahkan, Perang Bubat berawal dari keinginan Prabu Hayam Wuruk untuk menyunting Dyah Pitaloka Citraresmi untuk menjadi permaisuri di kerajaan Majapahit. Ketika melamar Dyah Pitaloka, Patih Gajah Mada sendiri yang menjadi utusan Prabu Hayam Wuruk. Lamaran Gajah Mada tersebut diterima oleh Prabu Linggabuanawisesa sebagai niat baik.
Karena Gajah Mada berhasrat untuk menundukkan Sunda dengan cara halus, ia meminta kepada Prabu Linggabuanawisesa agar perkawinan antara Prabu Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka dilaksanakan di Majapahit, bukan di Kerjaan Sunda.
Awalnya Prabu Linggabuanawisesa menolak permintaan Gajah Mada. Namun demi menyambung tali persaudaraan antara Sunda dan Majapahit yang sekian lama terputus, akhirnya Prabu Linggabuanawisesa menerima permintaan Gajah Mada tersebut.
Pada waktu yang telah ditentukan, Prabu Linggabuanawisesa beserta permaisuri dan beberapa bangsawan istana Sunda berangkat ke Majapahit, untuk mengantarkan Dyah Pitaloka dan sekaligus melangsungkan pesta perkawinan di Ibukota Kerajaan Majapahit.
Karena tujuannya adalah untuk melangsungkan pernikahan, maka rombongan Sunda tidak membawa terlalu banyak pasukan. Perjalanan jauh dari Galuh menuju Ibukota Majapahit yang ada di Trowulan mereka tempuh dengan diantarkan oleh ratusan rakyat kerajaan Sunda menuju pantai.
Sesampai di pantai, mereka menyaksikan laut berwarna merah darah, yang melambangkan bahwa rombongan itu tidak bakal kembali ke negeri kelahirannya. Namun perlambang aneh itu tidak dihiraukan oleh Prabu Linggabuanawisesa dan rombongannya. Hal ini karena niat baik Prabu Linggabuanawisesa untuk mempererat tali persaudaraan yang sempat terputus antara majapahit dengan Sunda. Mengingat Raden Wijaya yang menjadi pendiri Kerajaan Majapahit dianggap sebagai keturunan Rakeyan Jayadarma (Raja Sunda). Hal ini pula tercatat dalam Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3.
Sesampainya rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat, datanglah utusan dari Mahapatih Gajah Mada yang menyampaikan maksud Gajah Mada agar Dyah Pitaloka Citraresmi diserahkan ke Kerajaan Majapahit sebagai tanda takluk Sunda terhadap Majapahit dan bukan sebagai calon istri yang dilamar Majapahit.
Prabu Maharaja Linggabuanawisesa merasa harga dirinya terinjak-injak dengan perlakuan Gajah Mada itu. Namun sebagai seorang pemimpim yang arif, Prabu Linggabuanawisesa tidak bertindak gegabah untuk mengadakan perlawanan di tempat itu pada saat itu juga. Akan tetapi, kearifan hati Prabu Linggabuanawisesa tidak diikuti oleh seluruh anak buahnya.
Dalam situasi demikian, rombongan dari Sunda itu merasa dilecehkan. Karenanya, rombongan dari Sunda itu mendesak Prabu Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka sebagai pengantin, bukan sebagai tanda takluk Sunda atas superioritas Majapahit.
Menurut Kidung Sunda, disebutkan Prabu Hayam Wuruk bimbang atas permasalah itu, mengingat Gajah Mada adalah Patih yang sangat diandalkan.
Kemudian terjadilah insiden antara utusan Prabu Maharaja Linggabuanawisesa dengan Mahapatih Gajah Mada. Perselisihan berakhir dengan dicaci-makinya Gajah Mada oleh utusan Kerajaan Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka sekadar untuk menyerahkan tanda takluk atau mengakui superioritas Majapahit, dan berbeda dari undangan sebelumnya.
Sebelum Prabu Hayam Wuruk memberikan keputusanan, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya ke lapangan Bubat dan mengancam Linggabuanawisesa untuk mengakui superioritas Majapahit.
Para pemimpin Sunda yang terdiri dari Larang Agung, Tuan Sohan, Tuan Gempong, Panji Melong, Orang Pangulu, Orang Saya, Rangga Kaweni, Orang Siring, Sutrajali dan Jagatsaya naik pitam ketika mengetahui niat Gajah Mada itu. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuanawisesa menolak tekanan itu dan mereka memutuskan melakukan perlawanan terhadap pasukan Majapahit
Satu lesatan anak panah entah dari busur siapa menerjang utusan Gajah Mada hingga terkapar di tanah. Suasana tidak terkendali. Perang pun tidak terlelakkan lagi.
Rombongan Sunda yang tidak siap berperang terpaksa menghunus pedang dan merentang gendewa untuk menghadapi pasukan Majapahit yang sudah siaga berperang. Timbulah peperangan yang tidak seimbang antara pasukan Gajah Mada yang berjumlah besar dengan pasukan Balamati, para pejabat, keluarga kerajaan dan para menteri dari Kerajaan Sunda di lapangan Bubat.
Pasukan Sunda menyerang ke arah selatan. Di sana, pasukan Majapahit dibuat kocar kacir. Namun serangan dari pasukan Sunda itu dapat dipatahkan oleh pasukan Majapahit di bawah komando Arya Sentong, Patih Gowi, Patih Marga Lewis, Patih Teteg, dan Jaran Baya. Para Menteri Araman dan pasukan berkuda berganti menyerang pasukan Sunda. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Prabu Maharaja Linggabuanawisesa, para menteri, pejabat Kerajaan Sunda dan segenap keluarga kerajaan Sunda di lapangan Bubat.
Setelah mengetahui jika ayahandanya dan seluruh rombongan Sunda gugur dalam pertempuran, Dyah Pitaloka Citraresmi melakukan bela pati (bunuh diri). Tindakan ini diikuti oleh segenap perempuan-perempuan Sunda yang masih tersisa, baik bangsawan ataupun abdi kerajaan. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatriya, tindakan bunuh diri merupakan ritual yang dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur dalam peperangan. Perbuatan itu dimaksudkan untuk membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghindari kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak oleh pihak yang menang.
Prabu Hayam Wuruk menyesalkan atas insiden yang terjadi di Pesanggrahan Bubat. Karenanya, Hayam Wuruk kemudian mengirim Darmadyaksa dari Bali untuk menyampaikan permohonan maaf pada Prabu Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara sebagai Raja Sunda. Darmadyaksa juga menyampaikan bahwa semua peristiwa di Bubat akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana untuk mengingat tragedi berdarah di lapangan Bubat.
Serat Pararaton menyebutkan bahwa sesudah peristiwa di Bubat, Prabu Hayam Wuruk menyelenggarakan upacara besar untuk menghormati orang-orang Sunda yang tewas dalam peristiwa itu. Akibat peristiwa Bubat, hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang.
Akibat peristiwa Bubat, di kalangan kerabat Kerajaan Sunda diberlakukan peraturan "Esti larangan ti kaluaran" yang isinya di antaranya tidak boleh menikah dengan orang di luar lingkungan kerabat Sunda atau tidak boleh menikah dengan pihak timur Kerajaan Sunda (Majapahit).
Perlu dicatat bawa pada waktu bersamaan sesungguhnya Kerajaan Majapahit tengah melakukan eskpedisi ke Dompo (Padompo) di bawah komando Nala. Dalam peristiwa itu, seluruh rombongan Pajajaran tewas dan dalam beberapa tahun Pajajaran menjadi wilayah Majapahit.
Kajian Perang Bubat
Bila mencermati kisah Perang Bubat, Gajah Mada adalah pemicu utama timbulnya peristiwa berdarah di lapangan Bubat - perang antara rombongan Prabu Maharaja Linggabuanawisesa dari Sunda dan pasukan Majapahit.
Mengingat dalam perang tersebut, Prabu Hayam Wuruk murni menghendaki Dyah Pitaloka Citraresmi untuk dinikahinya sebagai permaisuri, dan bukan menjadikan Dyah Pitaloka sebagai tanda takluk Sunda pada Majapahit.
Perang Bubat memberikan citra buruk pada Gajah Mada yang sangat ambisius untuk merealisasikan Sumpah Palapa-nya. Sehingga puncak kejayaan Majapahit pada era pemerintahan Hayam Wuruk itu ternoda berkat Sumpah Palapa Gajah Mada yang orientasinya cenderung untuk memerluas wilayah Majapahit melalui kekerasan dan perang.
Secara tidak langsung, Sumpah Palapa yang berujung pada Perang Bubat-lah yang membawa citra Majapahit di mata Sunda ke lembah kehinaan.
Karenanya tidak heran bila Hayam Wuruk melengserkan Gajah Mada dari jabatannya sebagai Mahapatih Amangkubhumi dengan cara halus. Menjauhkan Gajah Mada dari perhelatan politik dari lingkup istana Majapahit.
Demikianlah, Sumpah Palapa yang menjadi bumerang bagi Gajah Mada hingga ia akan dibunuh sebelum mati moksa.
Pada akhirnya, Perang Bubat antara Sunda dan Majapahit menjadi dendam sejarah. Sehingga pada waktu itu, para putri Sunda dilarang untuk menikah dengan pria dari wilayah Majapahit. Bahkan hingga saat ini, ada mitos yang menyebutkan pernikahan kedua suku ini tidak akan pernah bisa langgeng.
Hingga sekarang, kecelakaan sejarah ini masih dikenang oleh masyarakat Jawa Barat dalam bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada sebagai nama jalan atau universitas di wilayah tersebut.
0 Komentar